Silahkan cari di

Google
 

Jumat, Juni 13, 2008

Match Point!

Ini adalah debut novel saya yang semoga saja diterbitkan oleh pihak yang berwenang. Jauh lebih penting dari itu, semoga cepat selesai ini novel aku garap!
Bab pertama sudah dimuat di kandanggagas (thanks!). Sekali lagi, semoga tidak hanya berhenti di bab pertama.
Demikian 1st chapter-nya...(kira-kira)
JRENG JRENG...

Match Point!

Pembukaan

Pukul 19.30 WIB

Penonton berderet duduk manis di lantai gedung pertunjukan berukuran tiga kali lapangan badminton yang beralaskan karpet. Hujan diluar membantu menyejukkan ruangan yang tidak ber-AC. Lampu mulai dipadamkan. Lampu panggung dihidupkan, menyorot bantal duduk dan segelas air putih. Hanya itu. Bincang-bincang mulai berganti bisik-bisik.

“Ssst!”

“Ssst!”

Orang-orang mencoba membuat diam penonton disekelilingnya untuk diam. Orang yang di”ssst”i tidak mau kalah, membalas “ssst” pula. Akhirnya para penonton saling berlomba adu “ssst!”. Untunglah musik pembuka segera mengalun mengakhiri perlombaan tak berujung itu. Pertunjukan segera dimulai. Sebuah pertunjukan tunggal dari seorang pendongeng terkenal dari ibukota (percayalah, yang terkenal pasti dari ibukota). Jumlah pendongeng di negeri ini sedikit, yang terkenal lebih sedikit lagi.

Tiap orang merindukan dongeng sebelum tidurnya saat masih kecil. Setidaknya yang belum pernah didongengi sebelum tidurnya berharap kali ini mimpinya terwujud. Menonton pertunjukan dongeng sampai tertidur. Itulah harapan yang ada disini karena harus mengeluarkan uang 5 ribu untuk sekedar didongengi. Harga satu kali makan bagi penonton yang kebanyakan mahasiswa.

- JRENG JREENG -


Musik pembuka masih dimainkan. Seorang lelaki berumur tigapuluhan mengenakan pakaian putih-putih keluar dari balik panggung. Menuju kearah bantal duduk, membungkuk horamat kearah penonton. Senyum lebar tetap menghiasi wajahnya hingga musik pembuka berakhir.
“Assalamualaikum warrahmatullohi wabarakatuuu!” salam Pendongeng.

“Waalikumussalam warrahmatullohi wabarakatuuuuuu!” balas penonton. Membalas salam lebih panjang lebih baik, begitu kata ustadz.

“Selamat malam!”

“Malaaam!”
“Bagaimana penonton, siaap?” Pendongeng tiba-tiba berdiri.

“Siaap!” penonton tiba-tiba ikut berdiri

“Yang belakang okee?”

“Okeee!”

“Tarik Maang!”

“.....”

“Huu, emangnya dangdutan!” butuh beberapa detik bagi penonton (yang kebanyakan mahasiswa) untuk ngeh apa yang terjadi.

“Haha, sori sori. Kebiasaan jadi MC dangdut belum bisa ilang.” Pendongeng kembali duduk. Penonton kembali duduk.

“Baiklah. Seperti biasa, sebelum ane memulai cerita. Basa basi dulu. Sepenuhnya ane ucapkan terima kasih buat pihak yang mengundang ane kemari. Terima kasih juga buat para penonton yang walo hujan-hujan dingin-dingin tetap mau datang hanya untuk sekedar mendengar dongeng dari ane.”
Setelah menarik napas, Pendongeng melanjutkan, “Ini bukan cerita tentang anak-anak orang kaya yang punya mobil mewah, apartemen mewah, tempat nongkrong mewah. Bukan juga cerita anak miskin yang papanya miskin, supir pribadinya miskin, pembantunya miskin, tukang kebunnya miskin. Bukan. Ini cerita tentang anak-anak biasa saja, mobilnya biasa aja, laptopnya biasa aja, ke kafe yang biasa aja, ke diskotik yang biasa aja...”

“Sama aja dong!” potong penonton.

“Eh iya ding,” ralat Pendongeng, “pokoknya bagi yang pecinta sinetron dengan seting glamor bisa meninggalkan pentas ini.”

Tidak ada yang mau membuang tiket lima ribu rupiah cuma untuk diusir Pendongeng. Setelah memastikan penonton tidak ada yang keluar gedung, kecuali satu penonton hamil yang keliatannya mau melahirkan. Pendongeng melanjutkan, “Ini cerita percintaan...Setidaknya demikian harapan ane. Nggak ada yang lebih menarik dari cerita cinta, setelah cerita setan pastinya. Walo sudah pernah denger beribu cerita cinta yang hampir semuanya mirip, nggak bakal bosen. Jangan tanya kenapa, karena ane sampe sekarang masih bujang.”

“Haaa?” seru penonton. Terdengar bisik-bisik tidak percaya, trus bisik-bisik mengasihani, trus bisik-bisik jijay.

Sadar sudah membuka aib sendiri, Pendongeng segera melanjutkan, “Setingnya disini, di kota tercinta Purwokerto ini. Begini ceritanya.”

JRENG JREENG
Tahun Pertama
Junno

Sudah setengah jam berlalu sejak jam weker berbentuk Kenshin Himura memukul-mukulkan pedang ke kepala Arjuna. Masih pake sarung abis solat subuh, Arjuna mulai aktivitas paginya. Yaitu...


“Sebentar, sebentar. Sampe kapan Om panggil aku Arjuna. Arjuna is det. Panggil aku Junno.” protes Junno.

“Oke. Junno. Tapi jangan panggil ane Om. Panggil Aa, lebih merdu.” kompromi Pendongeng.

Junno mengambil komik dari meja belajar pendek di sebelah kasur busa tanpa dipan. Urung membuka komik, dia melihat sekeliling kamar kos barunya.


Tau anak kosnya sudah lulus es em u, ibu kos yang selama ini dianggap Junno sebagai ibu kedua karena selalu memberinya cemilan saat tiba waktunya bayaran kos, mengkhianatinya dengan mengusir secara halus.“Maaf ya nak Junno. Bukannya Ibu nggak seneng Junno disini, walo sering nunggak bayarnya.” senyum berbahaya Ibu kos menghiasi mukanya yang lebih berbahaya lagi, “Tapi nak Junno kan tau, ini kos-kosan kusus buat anak SMA (bukan salah Pendongeng, tapi memang ibu kos gak tau kalo SMA dah ganti SMU), tarifnya juga buat anak SMA. Jadi nak Junno bisa cari kos lain buat mahasiswa.”

Junno hanya menantap tak berdaya. Semua isi kamarnya sudah di depan rumah kos. Junno memang beberapa hari terakhir ini tidak pulang ke kos. Setelah perayaan kelulusan dengan hura-hura tanpa huru-hara, dia langsung disibukkan dengan pendaftaran jadi mahasiswa, yang sarat pendaftarannya cuma bisa dibandingkan sama syarat pendaftaran jadi bupati. Dan betapa syoknya dia melihat semua barang kesayangannya teronggok tanpa bisa melawan di depan kosnya. Pintu dididepannya ditutup tanpa ampun oleh Ibu Kos, kayaknya nggak ingin anak kosnya ini masuk trus memeluk kakinya sambil menyanyi India versi dangdut (Anda tentu tidak membayangkan semua anak SMU sukanya Hip Hop, kan. Begitulah, diluar sana banyak yang dari TK sudah keukeuh pemuja dangdut).

“Sial!” umpat Junno


Sejak saat itu Ibu Kos masuk daftar orang-orang yang akan didendam Junno sepanjang hayatnya. Dia curiga pengusiran sepihak ini bukan karena kelulusannya tapi karena anak gadisnya yang mau masuk SMU tahun ini. Cantik emang, bohay juga. Tapi kenapa dengan itu? Junno toh cuma punya rencana ntar ke sekolah bareng, belajar bareng, nongkrong bareng, bobo...


“Hei, ini cerita remaja lho!”


“Sori.”

Dengan prinsip nggak mau merepotkan diri sendiri selama bisa ngrepotin orang lain, Junno ngeboyong semua isi kamarnya ke tetangga sebelah. Rumah Sadewa, teman Junno sejak orok. Junno tau Sadewa gak bakal ngusir dia lantaran Sadewa gak punya adik cewek, walau Junno juga tau orang tua Sadewa harus beli gembok tambahan buat lemari makan dan kulkasnya. Jadilah kamar Sadewa yang sak emprit tapi rapi nan nyaman bak dituang timbunan sampah dari TPA.


“Sori Wa, aku abis diusir Ibu Kos. Aku disini dulu ya sampe jelas aku kuliah dimana.” Junno memohon.


Memohon? Belum sempat Sadewa mengucapkan itu, tamu-mimpi-buruknya sudah sampai di depan lemari makan dan mengamankan isinya sebelum Mama Sadewa memasang pengaman tambahan.

***

Beberapa hari setelahnya, di tengah acara nulis kode perguruan tinggi. Kode-kode rumit seperti punyanya Opa Leonardo Da Vinci. Butuh Konsentrasi. Mata Junno berada di jauh di bawah jarak aman untuk membaca, menekuni serangkaian arti kode SMA, Universitas, Fakultas, Jurusan yang mau dimasuki. Tidak boleh ada kesalahan. Tidak boleh pengennya Matematika masuknya ke Akuntansi.


Di saat genting sperti itu Junno sekali lagi menerima nasehat bertuah dari Sadewa. Dan ini menyangkut masa depannya, tidak bisa diabaikan. Sadewa bertanya, “Bener gak mau ninggalin Purwokerto?”


Sadewa mau mengeluarkan kata-kata ajaibnya, Junno mengangguk hidmat. Bagaimanapun berkat nasehat-nasehat Sadewa dia bisa lolos (lolos bukan lulus)dari SMP dan masuk ke SMA favorit. Ajaibnya, nasehat Sadewa juga membawanya duduk di kelas IPA.


Padahal satu-satunya pemahamann pengetahuan IPA yang dimiliki Junno adalah, “ternyata gerhana matahari itu adalah peristiwa tertutupnya cewek cantik oleh cowok gendut jelek yang lagi minum Fanta!”


Sekarang setelah meloloskan sekali lagi dari SMA, spertinya Sadewa mau memberi nasehatnya lagi yang mujarab. Dan cita-cita Junno adalah sampai mati terus di Purwokerto membangun (atau lebih tepatnya merobohkan) kota tercintanya ini.


Sadewa bersabda, “Disini Universitas Negeri kan cuma satu. Jadi pilih aja fakultas yang aneh dan jurusan yang ajaib.”


Pyar!


Bagai mendapat pencerahan, Junno langsung memeriksa data statistik yang dimaksud, bak profesor matematik. Sedetik kemudian dia meyerahkan pada Sadewa jurusan mana baiknya yang dipilih, karena Junno adalah profesor matematika linglung. Kata statistik masih didengarnya beberapa tahun lagi. Sadewa memilihkan satu jurusan.


Oke. Junno langsung mengisi kode jurusan itu di kertas formulir pendaftaran.


“Satu lagi Junn. Aku tau kamu gak bakalan bisa melajarin semua mata pelajaran yang bakal ditesin,” Sadewa menatap sejenak pandangan-sok gak ngerti-apa sih maksud lo dari lawan bicaranya dan memilih untuk meneruskan,”jadi pilih satu yang paling bisa diterima otak kamu, kalo ada. Pelajari soal-soalnya, apalin. Kalo perlu apalin soal-soalnya mulai dari soal tahun enam puluhan. Kalo ntar bisa bener semua di satu pelajaran ini, gue jamin bisa masuk.”

(Percayalah penonton – INI SAMA SEKALI TIDAK MUNGKIN!)

Pyar!
Mendapat pencerahan dua kali, Junno langsung mengambil kumpulan soal Biologi dari tahun enam pulahan. Sedetik kemudian Junno terlelap.
Abakadabra!
Disinilah Junno sekarang. Memandangi kamar kos baru berukuran 3x2 (itu yang dikatakan bapak kos barunya), memeriksa apakah semuanya sudah ditaruh pada tempatnya. Semuanya barang-barang dengan tema tokoh kartun. Seluruh dindingnya ditempeli poster hampir semua jagoan yang ada dikolong langit ini, mewakili benua masing-masing. Ada Spiderman, Batman, Superman dari benua Lik (Paman) Sam. Asterix sampai Steven Sterk dari Eropa. Kensin Himura sampai Gundala Putra Petir dari Asia, terakhir ini poster dari kakaknya, sih.
Sebagian karakter kartun di kamar ini juga milik kakaknya yang mewariskan semua tokoh karakter kartun jadulnya ke Junno sebelum pergi. Mau belajar di akademi super hero, begitu pamit kakaknya.
Setelah dirasa semua sudah pas, Junno melanjutkan baca komik yang belum selesai tadi malam karena kecapekan habis menata kamarnya seperti dunia fantasi.
Sejak SD Junno sudah ditinggal orangtuanya dinas di luar Jawa, dia dititipkan bersama sang kakak di rumah pamannya. Sering ditanya oleh guru SD dimana ayahnya, Junno langsung menjawab, “Ayahku sedang menjajah negeri-negeri lain dan nggak akan pulang sebelum seluruh dunia takluk sama Ayah!”. Sampai sekarang kalau ditanya jawaban juga yang selalu diberikan. Waktu SD itu juga kakak laki-laki Junno memberitahu dia bahwa diluar sana banyak super hero, “Liat nih.” Kakaknya lalu memutar video Gaban (kalau ada yang belum tau siapa itu Gaban, tanya ama kakak atau papa ya). Junno kecil terpana.

Wow!


Beberapa waktu kemudian dia tau musik pengiring jagoannya kalau mau main adalah musik dangdut!

Masuk SMP Junno memilih ngekos. Calon super hero harus mandiri, katanya. Kakaknya juga kos tapi Junno gak mau bareng, tepatnya kakak Junno gak mau direcoki adik ajaibnya.


“Sampai kapan Om mau ndongeng?” sela Junno. Dia ternyata sudah siap berangkat ke kampusnya yang baru. Ospek hari pertamanya.


Jangan panggil Ane, Om!

JRENG JREENG

1st Chapter by Pradna Paramita (http://pradnaspot.blogspot.com/)

1 komentar:

Ratusya mengatakan...

Hai hai pradna…

Gue udah baca 1st chapter lu. Hm… tentang komen. Gue Cuma sebagai pembaca loh, bukan editor or penulis ternama yang udah sukses nerbitin buku. Well... sebenernya gue rada ga ngerti yang mana kata-kata yang dilontarkan oleh si pendongeng or si Junno or kata-kata sahutan dari lu sendiri. Semuanya masih campur aduk, belom ada pemisahan yang jelas. Which means, gue ga ngerti lu menempatkan tokoh lu dan bahkan lu sendiri sebagai orang keberapa. Apakah orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga (ya kaya grammar gitu d). Gue juga ga tau, apakah kebanyakan first chapter itu menyampaikan ke pembaca tentang siapa tokoh sentral dalam keseluruhan cerita lu, karena setelah gue baca 1st chapter lu ini, gue masih menerka-nerka siapa tokoh sebenarnya.
Anyway, it’s a good work lu udah bisa merangkai kata menjadi kalimat untuk menghasilkan tulisan sepanjang ini. Keep writing yaaaa